Selasa, 06 Desember 2011

Demokrasi dan Keadilan Sosial Di Indonesia


Indonesia barangkali satu-satunya Negara yang memiliki kekayaan terbesar di dunia baik sumber daya alamnya maupun kekayaan budaya. Kekayaan itulah yang menjadikan sejarah bangsa ini penuh dengan beragam cerita. Mulai dari kolonialisme hingga pertarungan politik dalam negeri seperti pertarungan antar kelompok agama dan nasional, pemerintah dan komunisme, dll.
Patut kita sadari bahwa faktor utama kolonialisme datang ke Indonesia karena terpikat sumber daya alam Indonesia yang berlimpah hingga mampu menjadi salah satu sumber alam yang menghidupkan perdagangan ekonomi negara kolonial. Negara kolonial datang tidak saja menguras sumberdaya alam, tetapi juga memengaruhi struktur politik dan sosial masyarakat Indonesia. Struktur sosial-politik masyarakat Indonesia – terutama Jawa- pada masa itu yang sedang berada dibawah kekuasaan kerajaan, dimana sistem hierarki sangat kuat dalam kehidupan masyarakat menjadi semakin hegemonik pasca datangnya kolonial yang memanfaatkan struktur sosial-politik masyarakat yang sudah ada dalam penjajahan yang mereka lakukan. Sebagian besar raja-raja di Indonesia mampu dikooptasi oleh penjajah kolonial yang mendapatkan bagian keuntungan dari proses pengerukan sumber daya tersebut. Situasi ini merupakan kondisi dimana perpaduan antara penguasa politik dengan pemilik modal (VOC) saling berkolaborasi membentuk satu rezim dalam mengeruk sumber daya alam. Tahap ini pula yang kita kenal dengan nama politik pecah belah kolonial.
Kondisi ini berlangsung dalam waktu yang lama hingga memberikan pengaruh yang dalam dan barangkali masih terasa hingga saat ini. Kolonialisme itu bukan tanpa perlawanan, kita dapat melihat perlawanan terus-menerus dilakukan hingga mencapai puncaknya secara politik yaitu revolusi kemerdekaan 1945. Revolusi ini tentu menjadi titik tolak yang penting dalam sejarah Indonesia, sebab momentum itulah yang menjadi titik berangkat Indonesia sebagai negara berdaulat, meskipun Belanda baru mengakui kedaulatan Indonesia pada tahun 1949.
Pasca Revolusi Kemerdekaan
Setelah revolusi 1945, Indonesia berada dalam pusaran politik sosialisme-nasionalis-religius yang menjadi aliran politik bagi sebagian besar para elit politik Indonesia. Masing-masing kekuatan meksipun sepakat untuk melawan kembalinya penjajahan colonial, namun tidak berarti situasi politik domestik berjalan tanpa dinamika. Masing-masing kekuatan berusaha memasukkan ide-ide pikiran alirannya dalam membentuk Negara Indonesia termasuk ke dalam dasar-dasar Negara. Meskipun demikian, secara umum semua pihak yang saling bertarung itu pada dasarnya sepakat untuk memilih demokrasi sebagai sistem politik Indonesia yang memuat kedaulatan rakyat dan keadilan sosial.
Pilihan atas demokrasi itu setidaknya karena dua alasan utama. Pertama, demokrasi dianggap paling cocok dengan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang beragam akan budaya, etnis dan agama. Kedua, demokrasi menjadi sistem politik yang paling memungkinkan terciptanya keadilan sosial bagi masyarakat daripada dengan model monarki karena demokrasi menempatkan kedaulatan rakyat sebagai prinsip utamanya. Artinya rakyat memiliki hak yang luas atas nasib hidup diri dan kehidupan bangsanya. Tentu saja prinsip demokrasi itu sendiri harus diterjemahkan ke dalam bentuk kebijakan-kebijakan yang populis dan pro rakyat. Pasca revolusi, Indonesia mengalami sejumlah fase demokratisasi yang sangat dinamis seperti model demokrasi terpimpin Soekarno,  demokrasi-otoritarian Soeharto hingga bergulirnya reformasi yang menjadi momentum konsolidasi dmeokrasi yang lebih substansial, meskipun fakta hari ini menunjukkan demokrasi itu masih jauh dari harapan.

Ancaman Demogarki politik
Indonesia secara politik masih berada dalam masa transisi menuju demokrasi sejati yang bersifat transparan, bersih, tanpa kebohongan dan bertanggungjawab. Saat ini proses demokratisasi itu bisa dibilang mengalami degradasi akibat perilaku politik oligarki yang ditampilkan oleh pemerintah maupun partai-partai politik. Gejala demogarki yaitu demokrasi yang berbalut oligarki politik elit, secara esensial akan berdampak sangat serius terhadap nasib kehidupan rakyat. Praktik oligarki politik inilah yang menjadi faktor penentu utama dalam perumusan sejumlah kebijakan publik yang akhirnya tidak merepresentasikan keinginan mayoritas rakyat, tapi sebaliknya mengabdi kepada kepentingan segelintir elit politik dan pengusaha asing maupun lokal.
Demokrasi semacam ini hanya menjadikan masyarakat sebagai komoditas politik musiman yang tidak memiliki kekuatan untuk melakukan artikulasi kepentingannya secara massif. Dengan munculnya beragam kritik dan protes dari berbagai kelompok termasuk bersuaranya para tokoh lintas agama, kita sebagai bagian dari publik Indonesia seharusnya bersyukur ketika para tokoh lintas agama negeri ini kembali bersuara menyuarakan keluhan dan derita umat. Munculnya kritikan yang memberikan efek tekan yang kuat kepada pemerintah ini setidaknya dapat menjadi martir pemecah kebekuan atas proses demokrasi-oligarki dan politik pencitraan akut yang sedang melanda negeri ini. Situasi ini menjadi sangat penting untuk menyelamatkan kepenting-kepentingan rakyat luas, sebab dengan gerahnya pemerintah atas kritikan para tokoh agama berarti pada titik itulah telah terjadinya proses komunikasi efektif dari para pemimpin umat kepada pemerintah yang akhirnya dapat memengaruhi perilaku dan kebijakan pemerintah. Ini yang disebut Jurgen Habermas dengan istilah demokrasi deliberatif.

Deliberasi Politik
Hebermas menegaskan bahwa dalam sebuah negara demokrasi, publik harus mendapatkan ruang yang seluas-luasnya untuk dapat berpartisipasi dalam proses penyelenggaraan negara agar dapat ikut serta memastikan bahwa hak-hak mereka sebagai warga negara terpenuhi dengan baik. Dalam demokrasi, masyarakat harus dapat memainkan peranan yang signifikan untuk memengaruhi konfigurasi politik agar kebijakan pemerintah benar-benar berdasarkan atas pertimbangan keinginan rakyat.
Dalam proses deliberasi politik ini, semua elemen bangsa memiliki hak untuk ikut melakukan sumbang saran ataupun sumbang pemikiran -dengan cara-cara yang beragam- mengenai masalah maupun cara untuk menyelesaikannya misalnya seperti pemikiran untuk mengentaskan kemiskinan, menangani krisis pangan, korupsi,  dan sejumlah persoalan lainnya dalam suatu ruang publik bersama yang adil dan setara. Untuk itu setiap anak bangsa di negeri ini seharusnya sadar dan aktif melakukan komunikasi, dialog dan bentuk partisipasi lainnya dalam ruang publik yang terbuka luas itu yang kemudian dengan sendirinya akan mengkristal menjadi sebuah aspirasi publik, sehingga pada level tertentu dan dengan cara tertentu pula aspirasi tersebut akan memengaruhi proses pengambilan kebijakan publik.
Partisipasi aktif setiap anak bangsa dalam ruang publik dengan sendirinya akan memberikan efek batasan kekuasaan pemerintah dalam menjalankan amanah rakyat. Pemerintah tidak boleh menjadi elemen yang paling kuat tanpa dapat tersentuh oleh elemen demokrasi lainnya untuk menjaga dan memastikan kekuasaan itu dijalankan dengan selurus-lurusnya.  Dengan demikian, kritik maupun protes menjadi suatu keharusan dalam suatu penyelenggaraan negara. Seperti yang ditulis F.Budi Hardiman bahwa ketidakpatuhan warga adalah gerakan moral dan moral dalam pengertian Habermas adalah penegakan keadilan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar